Kisah Natal 4

Written By Amateur Person on Tuesday, December 9, 2008 | 7:42 PM

Di Jerman tinggal seorang tukang arloji. Namanya Herman Josep. Dia
tinggal
di sebuah kamar yang sempit. Di kamar itu ada sebuah bangku kerja,
sebuah
lemari tempat kayu dan perkakas kerjanya, sebuah rak untuk tempat
piring dan
gelas serta tempat tidur lipat di bawah bangku kerjanya.

Selain puluhan arloji yang sudah dibuatnya tidak ada barang berharga
lain
di kamarnya. Di jendela kaca kamar itu Herman menaruh sebuah jam
dinding paling
bagus untuk menarik perhatian orang-orang yang lewat. Herman adalah
seorang
tukang arloji yang miskin. Pakaiannya compang-camping. Tetapi dia
baik hati.
Anak-anak di sekitar rumah menyukainya. Kalau permainan mereka rusak,
Herman
biasa diminta memperbaiki. Herman tak pernah minta satu sen pun untuk
itu.
"Belilah makanan yang enak atau tabunglah uang itu untuk hari Natal."
Ini jawaban yang Herman selalu berikan.

Sejak dulu penduduk kota itu biasa membawa hadiah Natal ke kathedral
dan
meletakkannya di kaki patung Maria yang sedang memangku bayi Yesus.
Setiap
orang menabung supaya bisa memberi hadiah yang paling indah pada
Yesus. Orang-orang
bilang, kalau Yesus suka hadiah yang diberikan kepada-Nya, Ia akan
mengulurkan
tangan-Nya dari pelukan Maria untuk menerima bingkisan itu. Tentu
saja ini
legenda. Belum pernah terjadi bayi Yesus dalam pelukan Maria
mengulurkan tangan
menerima bingkisan Natal untuk-Nya.

Meskipun begitu penduduk kota itu selalu berusaha membawa bingkisan
yang
paling indah. Para penulis puisi membuat syair-syair yang aduhai.
Anak-anak
juga tidak ketinggalan. Setiap orang berlomba memberikan yang terbaik
pada
Yesus di Hari Natal. Siapa tahu, kata mereka, Yesus mengulurkan
tangan menerima
pemberian itu. Orang-orang yang tidak punya bingkisan, pergi ke
Gereja untuk
berbakti pada malam Natal sekaligus menilai bingkisan mana yang
terindah.
Herman, tukang arloji, adalah salah seorang yang hanya pergi untuk
berbakti
dan menonton.

Pernah ada seorang teman mencegah Herman dan bertanya: "Kau
tidak tahu malu. Tiap tahun kau tak pernah membawa bingkisan Natal
buat Yesus?" Pernah satu kali panitia Natal bertanya: "Herman!
Mana bingkisan Natal darimu? Orang-orang yang lebih miskin dari
kau saja selalu bawa." Herman menjawab: "Tunggulah, satu
ketika saya akan bawa bingkisan." Tapi sedihnya, tukang arloji
ini tak pernah punya apa-apa untuk Yesus. Arloji yang dibuatnya
dijual dengan harga murah. Kadang-kadang ia memberikan gratis pada
orang yang benar-benar perlu.

Tetapi dia punya ide. Tiap hari ia bekerja untuk bingkisan natal itu.
Tidak
satu orangpun yang tahu ide itu kecuali Trude, anak perempuan
tetangganya.
Trude berumur 7 tahun waktu ia tahu ide Herman. Tetapi setelah Trude
berumur
31 tahun bingkisan itu belum selesai. Herman membuat sebuah jam
dinding. Mungkin
yang paling indah dan belum pernah ada. Setiap bagian dikerjakan
dengan hati-hati
dan penuh kasih. Bingkainya, jarum-jarumnya, beratnya, dan yang
lainnya diukir
dengan teliti. Sudah 24 tahun Herman merangkai jam dinding itu.

Masuk tahun ke-25 Herman hampir selesai. Tapi dia juga masih terus
membantu
memperbaiki mainan anak-anak. Perhatiannya pada hadiah Natal itu
membuat dia
tidak punya cukup waktu untuk buat arloji dan menjualnya. Kadang
Herman tidur
dengan perut kosong. Ia makin tambah kurus tetapi jam dindingnya
makin tanbah
cantik. Di jam dinding itu ada kandang, Maria sedang berlutut di
samping palungan
yang di dalamnya terbaring bayi Yesus. Di sekeliling palungan itu ada
Yusuf
serta tiga orang Majus, gembala-gembala dan dua orang malaikat. Kalau
jam
dinding itu berdering, orang-orang tadi berlutut di depan palungan
Yesus dan
terdengar lagu "Gloria in Excelsis Deo".

"Lihat ini!" kata Herman pada Trude. "Ini berarti
bahwa kita harus menyembah Kristus bukan hanya pada hari Minggu atau
hari raya
tetapi pada setiap hari dan setiap jam. Yesus menunggu bingkisan kita
setiap detik." Jam dinding itu sudah selesai. Herman puas. Ia menaruh
benda itu di jendela kaca kamarnya supaya bisa dilihat orang. Orang-
orang
yang lewat berdiri berjam-jam mengagumi benda itu. Mereka sudah
menduga bahwa ini pasti bingkisan Natal dari Herman. Hari Natal
sudah tiba. Pagi itu Herman membersihkan rumahnya. Ia mengambil
pakaiannya
yang paling bagus. Sambil bekerja ia melihat jam dinding itu.
Ia takut jangan-jangan ada kerusakan. Dia senang sekali sehingga ia
memberikan
uang yang dia miliki kepada pengemis-pengemis yang lewat di rumahnya.

Tiba-tiba ia ingat, sejak pagi dia belum sarapan. Ia segera ke pasar
untuk membeli sepotong roti dengan uang terakhir yang ada padanya.
Di lemarinya ada sebuah apel. Ia mau makan roti dengan apel itu.
Waktu dia buka pintu, Trude masuk sambil menangis. "Ada apa?"
tanya Herman. Suami saya mengalami kecelakaan. Sekarang dia di RS.
Uang yang kami tabung untuk beli pohon Natal dan kue harus saya
pakai untuk bayar dokter. Anak-anak sudah menuggu hadiah Natal.
Apa lagi yang harus saya berikan untuk mereka?"

Herman tersenyum. "Tenanglah Trude. Semua akan beres. Saya akan jual
arloji saya yang masih sisa. Kita akan punya cukup uang untuk
beli mainan anak-anak. Pulanglah."

Herman mengambil jas dinginnya lalu pergi ke pasar dengan satu jam
tangan yang unik. Ia tawarkan jam itu di toko arloji. Tapi mereka
tidak
berminat. Ia pergi ke kantor gadai tapi pegawai-pegawai bilang
arloji itu kuno. Akhirnya ia pergi ke rumah walikota. "Tuan, saya
butuh uang untuk membeli mainan bagi beberapa anak. Tolong beli
arloji ini?"
Pak walikota tertawa. "Saya mau beli arloji tetapi bukan
yang ini. Saya mau jam dinding yang ada di jendela kaca rumahmu.
Berapapun
harganya saya siap." "Tidak mungkin tuan. Benda itu
tidak saya jual.""Apa? Bagi saya semua mungkin. Pergilah sekarang.
Satu jam
lagi saya akan kirim polisi untuk ambil jam dinding itu dan kau dapat
uang
1000 dolar."

Herman pergi sambil geleng-geleng kepala. "Tidak mungkin!
Saya mau jual semua yang saya punya. Tapi jam dinding itu tidak. Itu
untuk
Yesus." Waktu ia tiba dekat rumah, Trude dan anak-anaknya
sudah menunggu. Mereka sedang menyanyi. Merdu sekali. Baru saja Herman
masuk, beberapa orang polisi sudah berdiri di depan. Mereka berteriak
agar pintu dibuka. Jam dinding itu mereka ambil dan uang 1000
dolar diberikan pada Herman. Tetapi Herman tidak menerima uang itu.
"Barang itu tidak saya jual. Ambillah uang itu," teriak
Herman sedih. Orang-orang itu pergi membawa jam dinding serta uang
tadi. Pada
waktu itu lonceng gereja berbunyi. Jalan menuju kathedral penuh
manusia.
Tiap orang membawa bingkisan di tangan.

"Kali ini saya pergi dengan tangan kosong lagi", kata
Herman sedih. "Saya akan buat lagi satu yang lebih cantik." Herman
bangkit untuk pergi ke gereja. Saat itu ia melihat apel di dalam
lemari. Ia
tersenyum dan meraih apel itu. "Inilah satu-satunya yang
saya punya, makanan saya pada hari natal. Saya akan berikan ini pada
Yesus.
Itu lebih baik dari pada pergi dengan tangan kosong."

Katedral penuh. Suasana bukan main semarak. Ratusan lilin menyala
dan bau kemenyan terasa di mana-mana. Altar tempat patung Maria
memangku bayi Yesus penuh dengan bingkisan. Semuanya indah dan mahal.
Di situ juga ada jam dinding buatan tukang arloji itu. Rupanya Pak
walikota mempersembahkan benda itu pada Yesus. Herman masuk. Ia
melangkah dengan kaki berat menuju altar dengan memegang apel. Semua
mata tertuju padanya. Ia mendengar mereka mengejek, makin jelas.
"Cih! Dia memang benar-benar pelit. Jam dindingnya yang indah
dia jual. Lihatlah apa yang dia bawa. Memalukan!"

Hati Herman sedih, tetapi ia terus maju. Kepalanya tertunduk.
Ia tidak berani memandang orang sekeliling. Matanya ditutup. Tangan
yang kiri diulurkan ke depan untuk membuka jalan. Jarak altar masih
jauh. Herman tahu bahwa ia harus naik anak tangga untuk sampai ke
altar.
Sekarang kakinya menyentuh anak tangga pertama. Herman berhenti
sebentar. Ia tidak punya tenaga lagi. Sejak pagi dia belum makan
apa-apa. Ada tujuh anak tangga. "Dapakah saya sampai ke altar
itu?"

Herman mulai menghitung. Satu! Dua! Tiga! Empat! lalu ia terantuk
dan hampir terguling ke bawah. Serentak semua orang berkata:
"Memalukan!" Setelah mengumpulkan sisa tenaga Herman
bergerak lagi. Tangga kelima. Kedengaran suara mengejek: "Huuuu!"
Herman naik setapak lagi. Tangga keenam. Omelan dan ejekan orang-orang
berhenti. Sebagai gantinya terdengar seruan keheranan semua orang yang
hadir. "Mujizat! Sebuah mujizat!!!"

Hadirin seluruhnya turun dari kursi dan berlutut. Imam merapatkan
tangannya dan mengucapkan doa. Herman, tukang arloji yang miskin
ini menaiki anak tangga yang terakhir. Ia mengangkat wajahnya. Dengan
heran ia melihat patung bayi Yesus yang ada di pangkuan Maria
sedang mengulurkan tangan untuk menerima bingkisan Natal darinya. Air
mata menetes dari mata tukang arloji itu. Inilah hari Natal yang
paling
indah dalam hidupnya.

- Diterjemahkan oleh: Eben Nuban Timo dari buku "Het Hele Jaar
Rond. Van sinterklaas tot sintemaarten." Disunting oleh Marijke
van Raephorst (Rotterdam: Lemniscaat, 1973), hal. 61-66
-------
Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan
mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Mat 7:7
7:42 PM | 0 comments | Read More

Kisah Natal 3

Los Felidas adalah nama sebuah jalan di salah satu ibu kota negara di Amerika Selatan, yang terletak di kawasan terkumuh diseluruh kota. Ada sebuah kisah Natal yang menyebabkan jalan itu begitu dikenang
orang,

Cerita ini dimulai dari kisah seorang pengemis wanita yang juga ibu seorang gadis kecil. Tidak seorangpun yang tahu nama aslinya, tapi beberapa orang tahu sedikit masa lalunya, yaitu bahwa IA bukan penduduk asli kota itu, melainkan dibawa oleh suaminya dari kampung halamannya. Seperti kebanyakan kota besar di dunia ini, kehidupan masyarakat kota terlalu berat untuk mereka, Tidak sampai setahun di kota itu, mereka sudah kehabisan seluruh uangnya,

Hingga suatu pagi mereka menyadari akan tinggal dimana malam nanti dengan tidak sepeserpun uang Ada dikantong. Padahal mereka sedang menggendong seorang bayi berumur satu tahun. Dalam keadaan panik Dan putus ASA, mereka berjalan dari satu jalan ke jalan lainnya Dan tiba di sebuah jalan sepi dimana puing-puing dari sebuah toko seperti memberi mereka sedikit tempat untuk berteduh.

Saat itu angin Desember bertiup kencang, membawa titik-titik air yang dingin. Ketika mereka beristirahat dibawah atap toko itu, sang suami berkata: "Saya harus meninggalkan kalian sekarang untuk mendapatkan
pekerjaan apapun, kalau tidak malam nanti Kita akan tidur disini." Setelah mencium bayinya IA pergi. Dan itu adalah kata2nya yang terakhir karena setelah itu IA tidak pernah kembali. Tak seorangpun yang tahu dengan pasti kemana pria itu pergi, tapi beberapa orang seperti melihatnya menumpang kapal yang menuju ke Afrika.

Selama beberapa Hari berikutnya sang ibu yang malang terus menunggu kedatangan suaminya, Dan bila malam menjelang ibu Dan anaknya tidur diemperan toko itu. Pada Hari ketiga, ketika mereka sudah kehabisan susu, orang-orang yang lewat mulai memberi mereka uang kecil, Dan jadilah mereka pengemis disana selama 6 bulan berikutnya.

Pada suatu Hari, tergerak oleh semangat untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik, ibu itu bangkit Dan memutuskan untuk bekerja. Persoalan nya adalah di mana IA harus menitipkan anaknya, yang kini sudah hampir 2 tahun, Dan tampak amat cantik. Keliahatan nya tidak Ada jalan lain kecuali meninggalkan anak itu disitu Dan berharap agar nasib tidak memperburuk keadaan mereka.

Suatu pagi IA berpesan pada anaknya, agar IA tidak pergi kemana-mana, tidak ikut siapapun yang mengajaknya pergi atau yang menawarkan gula-gula. Pendek kata, gadis kecil itu tidak boleh berhubungan dengan siapapun selama ibunya tidak ditempat. "Dalam beberapa Hari mama akan mendapatkan cukup uang untuk menyewa kamar kecil yang berpintu, Dan Kita tidak lagi tidur dengan angin dirambut Kita".

Gadis itu mematuhi pesan ibunya dengan penuh kesungguhan. Maka sang ibu mengatur kotak kardus dimana mereka tinggal selama 7 bulan agar tampak kosong, Dan membaringkan anaknya dengan hati-hati di dalamnya,di sebelahnya

IA meletakkan sepotong roti, kemudian, dengan Mata basah ibu itu menuju kepabrik sepatu, dimana IA bekerja sebagai pemotong kulit. Begitulah kehidupan mereka selama beberapa Hari, hingga dikantong
sang Ibu. Kini terdapat cukup uang untuk menyewa sebuah kamar berpintu di daerah kumuh tsb.

Dengan suka cita sang Ibu menuju ke penginapan orang-orang miskin itu, membayar uang muka sewa kamarnya. Tapi siang itu juga sepasang suami istri pengemis yang moralnya amat rendah menculik gadis cilik itu dengan paksa, Dan membawanya sejauh 300 kilometer ke pusat kota . Di situ mereka mendandani gadis cilik itu dengan baju baru, membedaki wajahnya, menyisir rambutnya Dan membawanya kesebuah rumah mewah dipusat kota .

Disitu gadis cilik itu dijual. Pembelinya adalah pasangan suami istri dokter yang kaya, yang tidak pernah bisa punya anak sendiri walaupun mereka telah menikah selama 18 tahun.

Suami istri dokter tsb memberi nama anak gadis itu Serrafona, mereka memanjakannya dengan amat sangat.

Di tengah-tengah kemewahan istana gadis kecil itu tumbuh dewasa. Ia belajar kebiasaan-kebiasaan orang terpelajar seperti merangkai bunga, menulis puisi Dan bermain piano. Ia bergabung dengan kalangan-kalangan kelas atas, Dan mengendarai Mercedes Benz kemanapun IA pergi. Satu hal yang baru terjadi menyusul hal lainnya, Dan bumi terus berputar tanpa kenal istirahat.

Pada umurnya yang ke-24, Serrafona dikenal sebagai anak gadis Gubernur yang amat jelita, yang pandai bermain piano, yang aktif digereja, Dan yang sedang menyelesaikan gelar dokternya. Ia adalah figur gadis yang menjadi impian

Setiap pemuda, tapi cintanya direbut oleh seorang dokter muda yang welas asih, yang bernama Geraldo.
Setahun setelah perkawinan mereka, ayahnya wafat, Dan Serrafona beserta suaminya mewarisi beberapa perusahaan Dan sebuah real-estate sebesar 14 hektar yang diisi dengan taman bunga Dan istana yang
paling megah di kota Itu.

Menjelang Hari ulang tahunnya yang ke-27, sesuatu terjadi yang merubah kehidupan wanita itu. Pagi itu Serrafona sedang membersihkan kamar mendiang Ayahnya yang sudah tidak pernah dipakai lagi, Dan dilaci meja kerja ayahnya, IA menemukan selembar foto seorang anak bayiyang digendong sepasang suami istri. Selimut yang dipakai untuk menggendong bayi itu lusuh, Dan bayi itu sendiri tampak tidak terurus, karena walaupun wajahnya dilapisi bedak tetapi rambutnya tetap kusam. Sesuatu ditelinga kiri bayi itu membuat jantungnya berdegup kencang. Ia mengambil kaca pembesar Dan mengkonsentrasikan pandangannya pada telinga kiri itu. Kemudian IA membuka lemarinya sendiri, Dan mengeluarkan sebuah kotak kayu mahoni. Di dalam kotak yang berukiran indah itu dia menyimpan seluruh barang-barang pribadinya, dari kalung-kalung berlian hingga surat-surat pribadi. Tapi diantara benda-benda mewah itu tampak sesuatu yang terbungkus oleh kapas kecil, sebentuk anting-anting melingkar yang amat sederhana, ringan Dan bukan terbuat dari emas murni.

Almarhum ibu memberinya benda itu dengan pesan untuk tidak menghilangkan nya. Ia sempat bertanya, kalau itu anting, dimana pasangannya. Ibunya menjawab bahwa hanya itu yang ia punya.

Serrafona menaruh anting itu didekat foto. Sekali lagi ia mengerahkan seluruh kemampuan melihatnya dan perlahan-lahan air matanya berlinang. Kini tak ada keragu-raguan lagi bahwa bayi itu adalah dirinya sendiri.

Tapi kedua pria wanita yang menggendongnya, dengan senyum yang dibuat-buat, belum pernah dilihatnya sama sekali. Foto itu seolah membuka pintu lebar-lebar pada ruangan yang selama ini mengungkungi pertanyaan-pertanya annya, kenapa bentuk wajahnya berbeda dengan wajah kedua orang tuanya, kenapa ia tidak menuruni golongan darah ayahnya.

Saat itulah, sepotong ingatan yang sudah seperempat abad terpendam, berkilat dibenaknya, bayangan seorang wanita membelai kepalanya Dan mendekapnya di dada. Di ruangan itu mendadak Serrafona merasakan betapa dingin sekelilingnya tetapi ia juga merasa betapa hangatnya kasih sayang dan rasa aman yang dipancarkan dari dada wanita itu. Ia seolah merasakan dan mendengar lewat dekapan itu bahwa daripada berpisah lebih baik mereka mati bersama.

Matanya basah ketika ia keluar dari kamar Dan menghampiri suaminya, "Geraldo, saya adalah anak seorang pengemis, dan mungkinkah ibu sekarang masih Ada di jalan setelah 25 tahun?" Ini semua adalah awal dari kegiatan baru mereka mencari masa lalu Serrafonna. Foto hitam-putih yang kabur itu diperbanyak puluhan ribu lembar dan disebar

ke seluruh jaringan kepolisian diseluruh negeri. Sebagai anak satu-satunya dari bekas pejabat yang cukup berpengaruh di kota itu, Serrafonna mendapatkan dukungan dari seluruh kantor kearsipan, penerbit surat kabar Dan kantor catatan sipil. Ia membentuk yayasan-yayasan untuk mendapatkan data dari seluruh panti-panti orang jompo dan badan-badan sosial di seluruh negeri dan mencari data tentang
seorang wanita.

Bulan demi bulan telah berlalu, tapi tak ada perkembangan apapun dari usahanya.

Mencari seorang wanita yang mengemis 25 tahun yang lalu dinegeri dengan populasi 90 juta bukan sesuatu yang mudah. Tapi Serrafona tidak punya pikiran untuk menyerah. Dibantu suaminya yang begitu penuh pengertian, mereka terus menerus meningkatkan pencarian.

Kini, tiap kali bermobil, mereka sengaja memilih daerah-daerah kumuh, sekedar untuk lebih akrab dengan nasib baik. Terkadang ia berharap agar ibunya sudah almarhum sehingga ia tidak terlalu menanggung dosa
mengabaikannya selama seperempat abad. Tetapi ia tahu, entah bagaimana, bahwa ibunya masih ada, dan sedang menantinya sekarang.

Ia memberitahu suaminya keyakinan itu berkali-kali, dan suaminya mengangguk-angguk penuh pengertian.
Saat itu waktu sudah memasuki masa menjelang Natal.

Seluruh negeri bersiap untuk menyambut hari kelahiran Kristus, Dan bahkan untuk kasus Serrafona-pun, orang tidak lagi menaruh perhatian utama. Melihat pohon-pohon terang mulai menyala disana-sini, mendengar lagu-lagu Natal mulai dimainkan ditempat-tempat umum, Serrafona menjadi amat sedih.

Pagi, siang dan sore ia berdoa: "Tuhan, saya bukannya tidak berniat merayakan hari lahirmu, tapi ijinkan saya untuk satu permintaan terbesar dalam hidup ini 'temukan saya dengan ibu' ". Tuhan mendengarkan doa itu.

Suatu sore mereka menerima kabar bahwa ada seorang wanita yang mungkin bisa membantu mereka menemukan Ibunya. Tanpa membuang waktu, mereka terbang ketempat wanita itu berada, sebuah rumah kumuh di daerah lampu merah, 600 km dari kota mereka. Sekali melihat, mereka tahu bahwa wanita yang separoh buta itu, yang kini terbaring sekarat, adalah wanita di dalam foto. Dengan suara putus-putus, wanita itu mengakui bahwa ia memang pernah mencuri seorang gadis kecil ditepi jalan, sekitar 25 tahun yang lalu. Tidak banyak yang diingatnya, tapi diluar dugaan ia masih ingat kota dan bahkan potongan jalan dimana ia mengincar gadis kecil itu dan kemudian menculiknya. Serrafona memberi anak perempuan yang menjaga
wanita itu sejumlah uang, Malam itu juga mereka mengunjungi kota dimana Serrafonna diculik, mereka tinggal di sebuah hotel mewah dan mengerahkan orang-orang mereka untuk mencari nama jalan itu. Semalaman Serrafona tidak bisa tidur untuk kesekian kalinya ia bertanya-tanya kenapa ia begitu yakin bahwa Ibunya masih hidup dan sedang menunggunya, dan ia tetap tidak tahu jawabannya.

Dua hari lewat tanpa kabar. Pada hari ketiga, pukul 18:00 senja, mereka menerima telepon dari salah seorang staff mereka. "Tuhan Maha Kasih nyonya, kalau memang Tuhan mengijinkan, kami mungkin telah menemukan ibu nyonya, hanya cepat sedikit, waktunya mungkin tidak terlalu banyak lagi." Mobil mereka memasuki sebuah jalanan yang sepi, dipinggiran kota yang kumuh Dan banyak angin. Rumah-rumah disepanjang jalan itu tua-tua dan kusam. Satu, dua anak kecil tanpa baju bermain-main ditepi jalan dari jalanan pertama, mobil berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil, kemudian masih belok lagi kejalanan berikutnya yang lebih kecil lagi. Semakin lama mereka masuk dalam lingkungan yang semakin menunjukkan kemiskinan.

Tubuh Serrafona gemetar, ia seolah bisa mendengar panggilan itu. "Cepat, Serrafonna, mama menunggumu, sayang". Ia mulai berdoa: "Tuhan beri saya setahun untuk melayani mama. Saya akan melakukan apa saja untuknya". Ketika mobil berbelok memasuki jalan yang lebih kecil, dan ia bisa membaui kemiskinan yang amat sangat, ia berdoa: "Tuhan beri saya sebulan saja". Mobil masih berbelok lagi kejalanan yang lebih kecil,
dan angin yang penuh derita bertiup, berebut masuk melewati celah jendela mobil yang terbuka.

Ia mendengar lagi panggilan mamanya, dan ia mulai menangis: "Tuhan, kalau sebulan terlalu banyak, cukup beri kami seminggu untuk saling memanjakan".

Ketika mereka masuk dibelokan terakhir, tubuhnya menggigil begitu hebat sehingga Geraldo memeluknya erat-erat. Jalan itu bernama Los Felidas, panjangnya sekitar 180 meter dan hanya kekumuhan yang tampak
dari sisi ke sisi, dari ujung keujung. Di tengah-tengah jalan itu, di depan puing-puing sebuah toko, tampak onggokan sampah dan kantong-kantong plastik, dan ditengah-tengahnya, terbaring seorang wanita tua dengan pakaian sehitam jelaga, tidak bergerak. Mobil mereka berhenti diantara 4 mobil mewah lainnya Dan 3 mobil
polisi, di belakang mereka sebuah ambulans berhenti, diikuti empat mobil rumah sakit lain. Dari kanan kiri muncul pengemis-pengemis yang segera memenuhi tempat itu.

"Belum bergerak dari tadi." Lapor salah seorang.
Pandangan Serrafona gelap tapi ia menguatkan dirinya untuk meraih kesadarannya dan turun dari Mobil, suaminya dengan sigap sudah meloncat keluar, memburu ibu mertuanya.

"Serrafona, kemari cepat! Ibumu masih hidup, tapi kau harus menguatkan hatimu."

Serrafona memandang tembok dihadapannya, dan ingatan semasa kecilnya kembali menerawang saat ia menyandarkan kepalanya ke situ. Ia memandang lantai di kakinya dan kembali terlintas bayangan ketika IA
mulai belajar berjalan. Ia membaui bau jalanan yang busuk, tapi mengingatkannya pada masa kecilnya.

Air matanya mengalir keluar ketika ia melihat suaminya menyuntikkan sesuatu ke tangan wanita yang terbaring itu dan memberinya isyarat untuk mendekat.

"Tuhan", ia meminta dengan seluruh jiwa raganya, "Beri kami sehari,Tuhan, biarlah saya membiarkan mama mendekap saya dan memberinya tahu bahwa selama 25 tahun ini hidup saya amat bahagia. Sehingga mama tidak sia-sia pernah merawat saya". Ia berlutut dan meraih kepala wanita itu kedadanya, wanita tua itu
perlahan membuka matanya dan memandang keliling, ke arah kerumunan orang-orang berbaju mewah dan perlente, ke arah mobil-mobil yang mengkilat dan ke arah wajah penuh air mata yang tampak seperti
wajahnya sendiri disaat ia masih muda.

"Mama....", ia mendengar suara itu, dan ia tahu bahwa apa yang selama ini ditunggunya tiap malam dan seiap hari - antara sadar Dan tidak kini menjadi kenyataan.

Ia tersenyum, dan dengan seluruh kekuatannya menarik lagi jiwanya yang akan lepas, dengan perlahan ia membuka genggaman tangannya, tampak sebuah anting yang sudah menghitam. Serrafona mengangguk Dan
menyadari bahwa itulah pasangan anting yang selama ini dicarinya dan tanpa perduli sekelilingnya ia berbaring di atas jalanan itu dan merebahkan kepalanya di dada mamanya.

"Mama, saya tinggal di istana dengan makanan enak setiap hari. Mama jangan pergi, Kita bisa lakukan bersama-sama. Mama ingin makan, ingin tidur apapun juga........ Mama jangan pergi....... ."

Ketika telinganya menangkap detak jantung yang melemah, ia berdoa lagi kepada Tuhan: "Tuhan Maha Pengasih dan Pemberi, Tuhan..... satu jam saja.......satu jam saja....."

Tapi dada yang didengarnya kini sunyi, sesunyi senja dan puluhan orang yang membisu. Hanya senyum itu, yang menandakan bahwa penantiannya selama seperempat abad tidak berakhir sia-sia.

diambil dari:
http://kuschelbuffalo.multiply.com/reviews/item/1

-------
Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan
mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Mat 7:7
7:24 PM | 0 comments | Read More

Kisah Natal 2

Hari ini, 4 hari sebelum hari natal, suasana Natal belum terasa dalam hati saya.
Mobil-mobil sudah menjejali pertokoan yang sudah mulai memberikan potongan harga. Di dalam toko malah lebih parah, kereta barang dan pembeli antri pada kasir. Saya heran kenapa saya mau datang hari ini. Kaki saya sudah pegal, dan begitu pula kepala saya sudah pening.

Dalam daftar belanjaan saya berisi nama-nama teman yang mengatakan bahwa mereka tidak perlu apa-apa. Tetapi saya pikir, mereka akan tersinggung jika saya tidak memberikan sesuatu kepada mereka.
Mereka sudah mempunyai barang-barang yang mereka butuhkan, dan juga harganya
mahal-mahal. Saya memutuskan membelikan hadiah yang lucu kepada mereka.

Secepatnya, saya mengisi kereta barang dengan barang-barang yang saya ingin beli, dan langsung ikut antri untuk membayar. Saya memilih antrian yang paling pendek, tetapi tetap saja membutuhkan waktu 20
menit untuk mencapai kasir.

Di depan saya, ikut antri 2 anak kecil, yang laki-laki berumur sekitar 5 tahun, dan yang perempuan lebih kecil. Anak laki-laki tersebut memakai baju hangat yang lusuh, celana jeans yang kependekan, dan
memakai sepatu kets kebesaran. Sedang adiknya, memakai baju yang sama dengan kakaknya. Adiknya, membawa sepasang sepatu wanita berwarna emas yang bagus dan mengkilap.

Lagu Natal terdengar di dalam toko tersebut, dan anak perempuan tersebut ikut menyanyikannya dengan perlahan-lahan dan gembira, walaupun dengan suara yang sumbang. Akhirnya kamipun sampai ke depan
kasir. Anak perempuan tsb dengan hati-hati meletakkan sepatu tersebut di depan kasir, seperti menjaga harta karun.

Kasir tersebut menghitung, dan berkata, "Harganya 25.000 rupiah". Anak laki-laki tersebut mengeluarkan semua uang dari kantung celananya, meletakkannya di meja kasir dan menghitungnya, dan ternyata jumlahnya
hanya ada 12.500 rupiah. Lalu kata anak laki-laki tersebut kepada adiknya, "Dik, kukira kita harus menaruhnya kembali" dengan suara yang sedih. "Kita akan datang lagi kapan-kapan, mungkin besok".

Mendengar hal tsb, adiknya tersedu, dan mengatakan, "Tetapi Yesus akan suka akan sepatu ini." Jawab kakaknya, "Ya Kita pulang dulu, bekerja lagi. Jangan menangis, kita akan kembali besok"

Lalu saya katakan kepada kasir bahwa kekurangan anak tersebut saya yang akan bayar. Anak itu sudah menunggu lama untuk mendapatkan sepatu tersebut, dan lagipula masa ini adalah masa Natal. Tiba-tiba,
sepasang tangan menyentuh tangan saya, dan anak perempuan itu mengatakan, "Terima kasih Bu."

Saya menanyakan kepada anak itu, "Kenapa kamu katakan bahwa Yesus akan suka kepada sepatu itu?" Kakaknya menjawab, "Ibu saya sedang sakit, dan akan pergi ke surga Dan ayah saya mengatakan bahwa Ibu saya mungkin sebelum hari Natal sudah pergi, untuk bertemu Yesus."

Adik perempuannya berkata, "Guru sekolah Minggu saya mengatakan, di surga, jalannya terbuat dari emas, seperti sepatu itu. Bukankah ibu saya akan cantik sekali jalan di surga dengan sepatu yang sesuai?"

Mata saya berkaca-kaca ketika saya melihat air mata anak perempuan itu mengalir di pipinya. "Ya. Saya yakin ibumu akan cantik sekali"

Di dalam hati saya berterima kasih kepada Tuhan memakai anak tersebut dan mengingatkan saya untuk dapat "memberi dengan tulus hati"

-------
Mintalah, maka akan diberikan kepadamu; carilah, maka kamu akan
mendapat; ketoklah, maka pintu akan dibukakan bagimu. Mat 7:7
7:22 PM | 0 comments | Read More

Kisah Natal 1

2 Bayi dalam palungan

Pada tahun 1994, dua orang misionaris Amerika mendapat undangan dari
Departemen Pendidikan Rusia untuk mengajar Moral dan Etika
berdasarkan prinsip-prinsip Alkitab. Mereka mengajar di penjara-
penjara, kantor-kantor, departemen kepolisian, pemadam kebakaran dan
di panti asuhan.

"Waktu itu menjelang Natal 1994, saatnya anak-anak yatim piatu kita -
untuk pertama kalinya - mendengarkan kisah Natal. Kami bercerita
tentang Maria dan Yusuf, bagaimana setibanya di Bethlehem, mereka
tidak mendapatkan penginapan hingga mereka akhirnya menginap di
sebuah kandang hewan. Di kandang hewan itulah akhirnya Bayi Yesus
lahir dan dibaringkan bunda-Nya dalam sebuah palungan.

Sepanjang kisah itu, anak-anak maupun pengurus panti asuhan begitu
tegang; mereka terpukau dan takjub mendengarkan Kisah Natal. Beberapa
anak bahkan duduk di tepi depan kursi seakan agar bisa lebih
menangkap setiap kata. Selesai bercerita, setiap anak kami beri tiga
potong kertas karton untuk membuat palungan. Mereka juga mendapat
sehelai kertas persegi, sobekan dari kertas napkin kuning yang kami
bawa. Anak-anak amat senang menerimanya karena di kota itu belum ada
kertas berwarna.

Sesuai petunjuk, anak-anak mulai menggunting kertasnya dengan hati-
hati lalu kemudian menyusun guntingan-guntingan kertas kuning sebagai
jerami dipalungan. Potongan-potongan kecil kain flannel, yang
digunting dari gaun malam seorang ibu Amerika yang telah meninggalkan
Rusia, dipakai sebagai selimut bayi. Bayi kecil mirip boneka pun
digunting dari lembaran felt yang kami bawa dari Amerika.

Semua anak sibuk menyusun palungannya masing-masing. Saya berjalan di
antara mereka untuk melihat kalau-kalau ada yang membutuhkan bantuan.
Semuanya tampak lancar dan baik-baik saja, hingga saya tiba di meja
si kecil Misha. Misha adalah seorang anak laki-laki berusia sekitar
enam tahun. Ia telah selesai mengerjakan proyeknya.

Ketika saya mengamati palungan bocah kecil ini, saya merasa terkejut
bercampur heran. Ada dua bayi dalam palungan Misha. Cepat-cepat saya
memanggil seorang penerjemah untuk menanyakan hal ini kepada Misha.
Dengan melipat kedua tangannya di meja, dan sambil memandangi
karyanya itu, Misha mulai mengulang Kisah Natal dengan amat serius.

Bagi anak sekecil dia, yang baru sekali saja mendengarkan Kisah
Natal, ia menceritakan semua rangkaian kejadian dengan amat cermat
dan teliti, hingga ia tiba pada bagian di mana Maria membaringkan
Bayinya dalam palungan. Mulailah Misha bergaya. Ia membuat sendiri
penutup akhir Kisah Natalnya. Katanya:

'Dan ketika Maria membaringkan Bayinya dipalungan, Bayi Yesus melihat
aku. Ia bertanya apakah aku punya tempat tinggal. Aku katakan kepada-
Nya bahwa aku tidak punya mama dan juga tidak punya papa, jadi aku
tidak punya tempat tinggal. Kemudian Bayi Yesus mengatakan bahwa aku
boleh tinggal bersama Dia. Tetapi aku katakan bahwa aku tidak bisa.
Bukankah aku tidak punya apa-apa yang bisa kuberikan sebagai hadiah
kepada-Nya seperti yang dihadiahkan orang-orang dalam kisah itu?

Tetapi aku begitu ingin tinggal bersama-Nya, jadi aku berpikir-
pikir, "Apa ya, yang aku punya yang bisa dijadikan hadiah untuk-Nya."
Aku pikir, barangkali kalau aku membantu membuat-Nya merasa hangat,
itu bisa jadi hadiah yang bagus.

Jadi aku bertanya kepada Yesus, "Kalau aku menghangatkan-Mu, apakah
itu bisa dianggap sebagai hadiah?" Dan Yesus menjawab, "Kalau kamu
menjaga dan menghangatkan Aku, itu akan menjadi hadiah terindah yang
pernah diberikan siapapun pada-Ku."

Demikianlah, aku menyusup masuk dalam palungan itu. Yesus memandangku
dan berkata bahwa aku boleh kok tinggal bersama-Nya untuk selamanya.'

Saat si kecil Misha selesai bercerita, kedua matanya telah penuh air
mata yang kemudian meleleh membasahi pipinya yang mungil. Wajahnya
ia tutupi dengan kedua tangannya, kepalanya ia jatuhkan ke atas meja.
Seluruh tubuh dan pundaknya berguncang hebat saat ia menangis dan
menangis.

Yatim piatu yang kecil ini telah menemukan seseorang yang tak akan
pernah melupakan serta meninggalkannya, yaitu seseorang yang akan
tinggal bersamanya dan menemaninya - untuk selamanya."


Di copy dari:
http://yesaya.indocell.net/id154.htm
7:18 PM | 0 comments | Read More

Sapi

Written By Amateur Person on Monday, December 8, 2008 | 9:55 PM

Kalau lagi bercanda dengan anakku, kadang kita maen tebak tebakan ngasal
seperti :

1. Sapi apa yang bisa nempel di dinding ?
( Sapi Der Man)
2. Sapi apa yang tidak Adil ?
( Sapi hak)
3. Sapi apa yang bisa nulis
( Sapi dol)
4. Sapi apa yang harganya cuman Rp. 2.000,- ?
( Sapi ling Nasi)
5. Sapi apa yang lepas Susu ?
( Sapi h)
6. Sapi apa yang kaga jelas ?
( Sapi ntas)
7. Sapi apa yang kurang dari 10 ?
( Sapi lan = sembilan)
8. Sapi apa yang menderita ?
( Sapi ling berdua)
9. Sapi apa yang ada di Jl. Katamso ?
( Gg. Sapi lulungan)

Udah ah garink ternyata ....
9:55 PM | 0 comments | Read More

Manado

Sebulan terakhir ini, lagi hangat hangatnya Kota Menado di kantor dibicarakan, karena baru aja kantor punya perwakilan (boleh dibilang gitu) di sana atau lebih tepatnya Kantor mengambil alih MD nya Menado.
Teman teman sudah hampir satu bulan ini mereka di sana, diam dan bekerja di Manado sana.
Banyak kabar mengenai Manado ini, ada yang bilang menyenangkan, ada yang bilang menyedihkan bahkan sampai tersiksa, tapi apa mau dikata tetap aja Manado merupakan tantangan yang harus di lalui oleh kita sebagai karyawan.
Kadang penasaran juga dengan Menado ini, tapi kalo di pikir lagi untuk apa penasaran tapi malah seperti mereka yang udah ke sana bilang, tersiksa dan merana di sana.
9:45 PM | 1 comments | Read More
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...